Sapa Pertama

Selamat datang,

Selamat bergabung dengan kami Komunitas Godhong. Sebuah komunitas yang dilahirkan dalam sebuah kondisi kecarut-marutan kehidupan umat manusia yang kian hari kian tak jelas. Kami mungkin hanya segelintir dari sekian banyak komunitas yang tak lagi terhitung jumlahnya lagi yang mengaku sebagai komunitas sastra. Namun pada hakikatnya, kami masih banyak harus belajar banyak dari sekian banyak komunitas yang ada lebih mumpuni. Untuk itu, tidaklah berlebihan jika kami memohon kritik dan saran Anda dan juga petunjuk mengenai hal-hal yang sangat berkait erat dengan kegiatan sastra.

Salam,

Komunitas Godhong

Tentang Komunitas Godhong

[konten ini masih dalam perbaikan]

Pengumuman

Salam budaya,

Dalam bulan Januari 2009 mendatang, kami Komunitas Godhong akan menerbitkan jurnal sastra independen BLAKASUTHA edisi perdana tahun 2009. Jika Anda berminat untuk mengisi tulisan mengenai apa saja tentang sastra dan budaya, baik itu berupa karya sastra puisi, cerpen maupun essai mengenai sastra dan kebudayaan kirimkan saja ke alamat email komunitasgodhong@yahoo.com. Namun demikian, perlu kami sampaikan pula karena keterbatasan dana yang kami miliki, setiap karya yang dimuat di jurnal kami belum dapat mengganti ongkos lelah Anda. Sebab, yang kami lakukan adalah demi sebuah karya bukan komersialisasi karya. Jurnal ini untuk sementara kami cetak dalam jumlah yang sangat terbatas. Namun kami akan tetap mengupayakan agar setiap tulisan yang Anda kirim tetap kami muat pada blog ini. Untuk itu, mari berjuang sampai mati demi dunia kreatif kita.

Dan bagi Anda yang mungkin memiliki kelebihan keuangan mungkin suatu hari kelak Anda akan dapat membukakan pintu untuk sedikit beramal kepada kami dengan menjadi pendukung bagi kami. Semoga Tuhan memberkati kita semua. Amin,

Salam budaya,

Siapa di Godhong [?]

Ribut Achwandi (Pekalongan)
Jl. HOS. Cokroaminoto No. 101
Pekalongan 51129
081575608325
02858172385
ributachwandi159@yahoo.com
http://robertdahlan.blogspot.com

Shidqi Haidzar(Jepara),
Khoirun Niam (Pati),
Dina Nurmalisa (Pekalongan),
Eva Anggraeni (Tegal),
Sri Andriyani (Pekalongan),
Rahmat Setiawan (Purwokerto),
Roni Herlambang (Pekalongan),
Ahmad Jumali (Brebes),
Kukuh Dwi Lukito (Purbalingga),
Dewanto Adi Nugroho (Batang),
Arto Wibowo (Salatiga),
Tri Yuliyanto (Bandar Lampung),
Karatika (Tegal),

Ahmat Rizki Abu Bakar
Malang, 21 Desembrek 1987
jl. KH. Agus Salim no. 33 Bandar Kidul, Mojoroto Kediri 64118
085640464736,

Mukhtar S.
Sukoharjo, 29 Mei 1986
Ngawen, Rt 02/01, Purbayan, Baki, Sukoharjo,
085642014308

Nurhaedhi Aprilyanto
Batang, 26 April 1986
Desa Sidayu No.26 Rt.01/I, Kec. Bandar, Kab. Batang 51254
085640373746,

A. Nurhadi M.
Brebes, 09 Mei 1987
jl. Cemara no. 10 Rt. 01/II Lemah Abang, Tanjung Brebes 52254,
085641688890,

Luthfiar Laeis
Semarang, 24 Mei 1988
jl. Tejokusumo 2 no. 4, Tlogosari, Semarang 50197
08985582550 / 085641615181,

Widyaningsih MH
Slawi, 04 November 1987
jl. Taman Sari KM 3,5 Lemba Sari, Jatinegara, Tegal
081904779610

Kamis, 23 Juli 2009

Sepotong Doa Untuk Indonesia

Ribut Achwandi


Tuhan
hampir aku lupa
bulan depan indonesiaku ulang tahun
aku belum beli bendera baru
sebab bendera yang lama
lusuh sudah warnanya
maafkan aku
Tuhan,

Kekasih Sunyi

Ribut Achwandi


lesung pipimu kekasih,
adalah kesunyian
maka ijinkan aku menjerumuskan diri
dalam palung sunyi itu

agar setelah ini,
aku pahami kesunyianmu
yang mestinya menjadi sunyiku

kita sama sama sunyi
kita sama sama tenggelam
kita sama sama tak mengerti
apakah kita membutuhkan sunyi
ataukah melelapkan diri
dalam nina bobo yang membuai mimpi

Melukis Indonesia dengan Kata

Ribut Achwandi


melukis indonesia dengan kata-kata
aku dibuai nyanyian nyiur melambai
sepoi-sepoi angin pantai
membuatku lunglai

melukis indonesia dengan kata-kata
aku terbujuk rayuan pulau kelapa
membawaku lelap
bersembunyi di balik kain bendera
aku hanya mengintip

melukis indonesia dengan kata-kata
aku terjebak pada nyanyian si gembala sapi
bertopi ala koboi
tapi kurang gizi
berdandan ala gipsy
tapi tak punya modal akal

melukis indonesia dengan kata-kata
aku terjatuh ke pangkuan ibu pertiwi
yang tak pernah henti menangis
diperkosa oleh kuasa

melukis indonesia dengan kata-kata
aku tertusuk jarum jahit bendera
lantaran aku tak bisa menyanyikan
indonesia raya lagi

GERIMIS

Ribut Achwandi


terlalu dini untuk menerjemahkan gerimis
sementara kata
tak cukup mengungkap makna tersembunyi
lalu
biarkan hujan menderai
mengurai kata yang membisu
di antara sepi
sepinya sepi

dan diam
tetap menjadi senjata ampuh
untuk membahasakan kebisuan

hujan
mendera
menghujam kata
yang bersembunyi pada bumi

Jumat, 26 Juni 2009

seperti doa

puisiku menjalar kawah kawah gundah
mengesak pada dinding dinding kesah
menggelantung di ujung lidah
lalu menari di setiap lentik jari

puisiku seperti doa;
berkelana
menawarkan segala warna kebuncahan
yang selalu menyela dalam kehidupan

puisiku
bagai peluru yang membunuh kutukan
peluru yang meliuk
menancap di langit tinggi
memecah cakrawala lalu
mengeluarkan beban yang ada
hingga mulut rontok tak berasa

seperti doa
puisiku keluar melewati jendela jendela yang usang
terbang mengambang
di riak katakata
lalu berkumpul di rak rak persimpuhan

Senin, 15 Juni 2009

Dik,

Sehari mengenalmu
Lewat butir butir mimpi
yang kau kemas
dalam tarian langit dan nyanyian ombak,
Kurasakan riuh hati yang tak pernah lelah
Hingga menelantarkanku di pojok sampah
yang kumuh dan lusuh

Jumat, 29 Mei 2009

gerbong

Abu

gerbong mulai berjalan
aku yang mati dalam gerbong masih tak tahu arah tujuanku

Minggu, 24 Mei 2009

sedetik berlalu

Mukhtar S.

Tuhan
sebelum Kau akhiri waktuku
izinkan kutulis seuntai kata
pada lembar putih suratku ini

“Yang terkasih jauh dari pandang. Yang terkasih dekat dengan hati. Hidup adalah karang di lautan. Tertendang,tertimpuk,terterjang,dan terhempas. Suatu saat akan roboh, hancur, dan berhamburan, menyatu dengan tanah, pasir, dan bebatuan.”

Tuhan
kupinta waktu se detik lagi
suratku belum kuakhiri
sebab esok tak tau lagi

“Yang tersayang sejauh bintang. Yang tersayang selalu terang. Aku bagai pasir tertampar angin. Aku bagai busur termakan lajur. Terombang-ambing seperti daun kering. Namun, aku tau. Jika kelak waktumu terkikis tipis, perahu cintamu tak akan terdayung terhuyung.”

Tuhan
sebelum Kau sudahi waktuku
sebelum se detik berlalu
kupinta padaMu
Jangan ia layu termakan waktu

Suatu Saat

Mukhtar S.

Ibu
jika waktu nanti aku kembali
sedang daun-daun tak turun dari tubuhnya
sulamlah namaku pada daun-daun itu
aku ingin menikmati masa sunyi bersama angin
cericit burung dan rebahan embun
yang membasahi setiap lekuk huruf
dan mengalirkan dosa, membuangnya,
lalu mensucikan namaku

hari ini tak lain hari esok
seperti berada dalam selimut mimpi
tak berkaki

Ibu
jika aku kembali dalam sunyi
bertatap muka Sang Segala
yang aku berada di dalamnya
sematkan tubuhku dengan lembut
dengan cinta yang ku pinta

Ibu
jika suatu hari aku mendahuluimu
jangan pernah mengaduh
“Tuhan tak adil”
jangan pernah menuduh
“Tuhan salah orang”

hari ini tak kembali
mungkin lusa atau nanti

Senin, 11 Mei 2009

bodoh : rembulan

bodoh : rembulan
oleh: Mukhtar S.

sebab apa kau begitu setia pada malam
sedang tubuhmu hanya semu
mungkin bisa kukatakan “kau tak lebih dari barang mainan”
tak seindah seperti yang kubayangkan waktu kecil

lantas
apa Tuhan mengajarimu kesetiaan

Oo..
nasibmu mungkin tak seperti nasibku
aku bisa mengubahnya sewaktu-waktu
aku ingin duduk, bersandar, tiduran, makan, minum, berjalan, sesukaku
bahkan kalau ada perempuan, aku pun bisa menidurinya
Oo.. alangkah indahnya hidup
berasa nyaman tanpa ada penggoda datang
apa kau tak iri padaku
jangan-jangan kau ingin menerkamku dari belakang
menunggu titik lemahku
lalu
haapp… seperti nyamuk menjilat mangsanya

Lantas
berapa juta kopi yang kau tenggak
berapa juta pil dingin yang kau kunyah
berapa juta selimut yang kau pakai

kalau kau sakit lalu terkapar,
sebab dingin selalu menusuk tulangmu,
apa esok kau masih setia padanya

sudahlah rembulan
kau tak perlu memaksakan diri
tak baik jika kau begadang tiap malam
lihat, wajahmu banyak lubang dan mungkin jerawat
sekujur tubuhmu pucat
darah mengendat
air mata pun tak lagi kau punya

Minggu, 03 Mei 2009

Pemilu Katanya

Ribut Achwandi


PEMILU katanya bikin repot ibu-ibu rumah tangga
karena
harus tidak masak satu hari
karena
harus tidak belanja satu hari
karena
harus ikut libur jadi ibu rumah tangga
karena
anak tak bisa ditinggal
karena
apakah anak harus ditelantarkan
karena
susah mereka tinggalkan dapur
meski
emansipasi sudah menjadi tuntutan
meski
zaman bukan lagi ala feodal
meski
ada caleg perempuan
meski
hak politik mereka sudah tidak lagi abai
namun
budaya tidak bicara banyak

PEMILU katanya bikin repot Caleg
katanya
harus keluar uang
katanya
harus sering bicara
katanya
harus pinter berkampanye
katanya
pusing deh....

Puisi Tiga Menit

Ribut Achwandi


Tiga menit
hidupku aku pertaruhkan pada selembar kertas
merangkai kata yang entah kemana akan ku alirkan maknanya

Tiga menit
pulpenku menusuk perih kertas putih
angin dari lubang jendela membuatku terkantuk
sreeet....
satu kata terlewat
kaburlah maknanya

Tiga menit
puisiku jadi onggok sampah
aku tak jadi pesaing Rendra
aku hanya pecundang
yang ditertawai Taufiq Ismail
aku malu jadi penyair gagal
aku tutup muka
memalingkannya dari tatapan Cahiril Anwar
dan sengaja aku campakkan diri dari Sitok Srengenge
enggan pula beradu dalam pangkuan Goenawan Mohammad

Tiga menit
menjadi sia-sia

Sajak Penjual Ayat

Ribut Achwandi


Tuhan
izinkan aku menjual ayat-ayat-Mu
lantaran mereka tak mengerti
betapa berharganya firman-Mu
karena mereka yang berbicara atas-Mu
tak juga elok memandang ayat-Mu
sebab mereka yang berkhotbah di atas mimbar suci itu
tak lebih baik dari para penjual obat
meski mungkin aku tidak lebih baik
dan lebih suci dari mereka
yang selalu membasuh muka mereka
atas nama-Mu
meski aku tidak lebih mulia
dari mereka yang selalu menyeru
nama-Mu

Tuhan
izinkan aku jual ayat-ayat-Mu
karena Engkau adalah aku
dan Aku adalah aku
Aku yang menyatu dalam ayat-Mu
Aku yang menjelma dalam firman-Mu

Tuhan izinkan-kah Engkau?

Detik yang Hilang

Ribut Achwandi


ada yang terlewat dari jemari
hitungan demi hitungan
hanya melewatkan malam
sementara garis-garis langit
terus saja berputar

lantas
angin membawaku pulang
pada peraduan cakrawala
yang aku gurat sedemikian rupa
dalam bingkai kenangan
yang lama aku tinggalkan

detik itu menghilang
tatkala aku tengah masyuk
dengan kalimat-kalimatku
menghisap sebatang rokok
dalam kesengsaraan
yang membahagiakan

Indonesia dalam Bingkai Kacamata

Ribut Achwandi


indah pulaunya nian
biru laut putih pasirnya
dari tempatku
di dalam pesawat
yang membawaku ke timur jauh
makassar sana

kapal pesiar
mendekat pulau
tak bertuankah ia
ataukah bukan lagi berbendera merah putih?

aku curiga

semestinya tidak

tapi aku tetap curiga

meski harusnya tidak

tetap aku curiga

apakah ini indonesia?
dimana kecurigaan harus dibayar mahal

selembar surat melayang di rumah kontrakan
ketika aku pulang
aku baca ia

'hati-hati polisi mencarimu.'

bunyi tulisan itu

itu tulisan ibu

ku telepon ia

'kenapa harus meneleponku?' tanyanya

'aku harus tahu.'

'tidak'

'kenapa?'

'tutup saja teleponmu.
atau pakai telepon temanmu
atau yang lain saja.'

'aku butuh kejelasan'

'kau dicari polisi. itu jelasnya'

semakin sulit saja
aku tak menangkap apa-apa

'pergi jauh... biarkan ibu yang mengurus istri dan anakmu'

ah, apalagi ini?

'karena kau pergi
dan kau tulis tentang pulau itu
dan karena kacamatamu itu'

'ibu harus percaya. aku tak apa-apa.'

indonesia dalam bingkai kacamataku
kian tak jelas,
padahal tidak merabun pula mataku.

selamat malam ibu, istri dan anakku
aku tetap harus pulang ke rumah

Sajak Entah Kata

Ribut Achwandi


mengingat tuhan dikala susah
mendekat setan setiap saat

oh azab apalagi yang akan diterima jiwa
bukannya badan telah tak bertuan
kala jiwa sakit?

lupa lupa ingat
waktu menggayut
di dahan kayu
yang terhanyut arus

sungai menganak
mencabang dalam kebendaan
dunia melipat
manusia terjebak

oh sakit apalagi
badan tak berjiwa
jiwa tak berakal
akal tak berpikir
lantaran luka jiwa

pintu pintu tobat
nganga dibuka
tuhan tengah melambai
datanglah padanya

kenapa kau seret kaki
tidak menjejak tegap
padahal
kau sehat kelihatannya

itu rumah tuhan
sambangilah
dia rindu kau
kau rindukah?

kayuh kayuh langkah
setapak medan berundak
sulit nian kau berjuang
capai bukit mulia

tuhan ada di sana

Sajak Ironi Tengah Malam

Ribut Achwandi


sebotol dosa
segenggam doa
sajak ironi tengah malam ini
biarlah tuhan yang menyaksikan
bahwa aku tengah mabuk
karena cintaMu

Kau memberi cinta
sementara dia mencampakkan

sebotol dosa
aku tenggak atas nama cinta
yang luruh karena hina

segenggam doa
kumusnahkan dalam hening
karena cinta

oh jiwa terindah
yang kusimpan dalam jiwaku
kau adalah perempuan tercantik
namun kau telah membuatku berdosa
karena aku telah menyalahkan cinta

cinta yang seharusnya agung
cinta yang dilahirkan dari ruh tuhan

sebotol dosa
segenggam doa
aku muntahkan bersama
dengan makian

Anakku

Ribut Achwandi


kau dilahirkan sebagai lelaki
lelakumu dadi kinasih lan kinarya

kau lelaki
yang harus memahat sejarah baru
dalam napak tilas moyangmu
berkarya dan penuh kasih

Malam Ini

Ribut Achwandi


membungkus matahari dalam selembar kain sarung
sehelai mimpi ku kemas dalam bungkusan daun

TEROR

Ribut Achwandi


atas nama malam,
aku mendatangi Engkau dalam kudusnya gereja
dalam sejuknya masjid
dalam keheningan kuil
dalam harum wewangi yang bertebar menyerbak dinding vihara

Engkau yang Maha Teror
benar-benar telah membuatku takut
sebab cinta-Mu tidak ubahnya sebuah teror

Kau mengawasi ku
Kau Maha Cemburu
Kau mengawalku
Kau Maha Tak Kenal Kompromi

cinta-Mu,
adalah teror

sebab,
Kau Maha Pendendam
karena Kau Maha Romantis

sanggupkah aku
berada dalam teror-Mu?

Sajak Tentang Ilmu Pengetahuan

Ribut Achwandi


membedah selubung malam dalam cakrawala pengetahuan yang terbatas
manusia seolah menjadi tuhan bagi kesalahan sistem yang mereka terjemahkan sendiri
tangan-tangan besi mereka
menggali lubang neraka dengan saling mengarahkan telunjuk mereka
pada hidung dan bola mata yang tidak lagi nampak bulat
mata mereka membentuk segitiga, atau lebih tepatnya mengerucut ke depan

inilah budaya kita bung,
kegilaan semacam ini langgeng hukumnya di negeri ini
kegilaan ini tidak pernah sirna di bumi ini
sebelum benar-benar bumi itu sirna dengan sendirinya

mungkin kau sangka aku tengah berorasi di hadapan rembulan
yang entah ia lari kemana sejak kemarin sore
lantaran awan telah membawakan hujan
dan hujan telah melunturkan cahaya bulan
dan warna hijau daun menjadi gelap tak nampak
karena lampu-lampu jalanan tidak memiliki daya magisnya untuk memantulkan prisma warna

ini kenyataan bung,
ketika pengetahuan tidak ubahnya sebuah money politik
yang seolah bisa dibeli dan dipolitisir

kita berada di atas kapal yang hampir karam
berbicara pengetahuan adalah nilai merah bagi kita
doktrin telah menjadi garam yang begitu lezat untuk kita santap setiap hari
bagai santan yang dibubuhkan dalam setiap masakan berkaldu

ini kenyataan bung,
di atas meja kaki-kaki berjongkok
menciptakan jiwa-jiwa penakut
dan penaklukan pengetahuan kita tidaklah sehebat ceritanya

ini kisah nyata bung,
ketika mulut sama dibungkam
ketika mata sama dibutakan
ketika telinga disumbat oleh dogma

pengetahuan
idealisme
adalah barang haram di negeri kita

ini nyata,

Sajak Titik Nol

Ribut Achwandi


detik nol
menit nol
pukul nol

hitungan hari dimulai di sana
adakah engkau sibuk saat itu
dengan hitungan-hitungan matematis
mengenai perbuatanmu sepanjang hari

titik nol
kadang hanya terlewat
tanpa makna

mungkinkan kita mampu meloncati waktu
tanpa meniadakan
titik nol

1 Mei

Ribut Achwandi


istriku,
lihatlah kelopak-kelopak bunga anggrek di sana
kini mulai merekah
sebagaimana harapanku
yang aku tuang dalam secangkir mimpi
aku peras dari keringatku
ku seduh dengan tulangku yang mulai keropos
tulang yang terseok oleh zaman
yang terseret oleh kebijaksanaan

hari ini,
1 mei
aku ingin kau jadikan aku pahlawan
meski tidak aku terima tanda kebesaran
yang disemat pejabat pada dadaku yang bungkuk

hari ini,
aku berangkat ke alun-alun
mengibarkan bendera merah putih
seraya berucap merdeka untuk kesekian kali
sudah aku lupa hitungan bilangannya

hari ini,
istriku,
aku ingin kau mencatatkan pada anak kita
tentang noda merah yang mungkin akan membanjiri pakaianku
agar ia tidak lupa
betapa derita kita sebagai buruh
harus dihabiskan dengan ceceran darah

hari ini,
aku ingin engkau kenang
sebagai hari bersejarah bagi kita
untuk terakhir kalinya memekikkan kata merdeka
bagi para buruh negeri ini